Wednesday, January 30, 2013

KEBUDAYAAN DAN SISTEM KEHIDUPAN SUKU AMBON


Ambon adalah sebuah suku yang mendiami daerah kepulauan yang sekarang terletak di Provinsi Maluku.
Orang-orang suku Ambon umumnya memiliki kulit gelap, rambut ikal, kerangka tulang besar dan kuat. 

Profil tubuh mereka lebih atletis dibandingkan dengan suku lain di Indonesia dikarenakan aktifitas utama mereka merupakan aktifitas laut seperti berlayar dan berenang.
Desa adat suku Ambon dibangun sepanjang jalan utama antara satu desa dengan desa yang lain saling berdekatan, atau bisa juga dalam bentuk kelompok yang terdiri dari rumah-rumah yang dipisahkan oleh tanah pertanian

Dalam kehidupan masyarakat Maluku pada umumnya dan Ambon pada khususnya, hubungan persaudaraan atau kekeluargaan terjalin atau terbina sangat akrab dan kuat antara satu desa atau kampung dengan desa atau kampung yang lain. Hubungan kekeluargaan atau persaudaraan yang terbentuk secara adat dan merupakan budaya orang Maluku atau Ambon.

Sistem kekerabatan orang Ambon berdasarkan hubungan patrilineal yang diiringi pola menetap patrilokal. 

Kesatuan kekerabatan amat penting yang lebih besar dari keluarga batih adalah mata rumah atau fam yaitu suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilinal.

Mata pencaharian orang Ambon pada umumnya adalah pertanian di ladang. Dalam hal ini orang membuka sebidang tanah di hutan dengan menebang pohon-pohon dan membakar batangbatang serta dahan-dahan yang telah kering. Ladang-ladang yang telah dibuka dengan cara demikian hanya diolah sedikit dengan tongkat kemudian ditanami tanpa irigasi. 

Umumnya tanaman yang mereka tanam adalah kentang, kopi, tembakau, cengkih, dan buahbuahan. Selain itu, orang Ambon juga sudah menanam padi dengan teknik persawahan Jawa.
Mayoritas penduduk di Maluku memeluk agama Kristen dan Islam. 

Hal ini dikarenakan pengaruh penjajahan Portugis dan Spanyol sebelum Belanda yang telah menyebarkan kekristenan dan pengaruh kesultanan Ternate dan Tidore yang menyebarkan Islam di wilayah Maluku.

SIKAP HIDUP SUKU MADURA


Suku Madura, adalah salah satu suku di provinsi Jawa Timur, yang mendiami pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Populasi suku Madura termasuk yang ke-3 terbesar di Indonesia, diperkirakan lebih dari 6.800.000 orang.

Adat dan kepribadian orang Madura merupakan titik tolak terbentuknya watak dengan prinsip teguh yang dipengaruhi oleh karakteristik geografis daerahnya. 

Satu prinsip yang menjadi fenomena orang Madura, ialah dikenal sebagai orang yang mampu mengambil dan menarik manfaat yang dilakukan dari hasil budi orang lain, tanpa mengorbankan kepribadiannya sendiri. Demikian pula orang Madura pada umumnya menghargai dan menjunjung tinggi rasa solidaritas kepada orang lain.

Sikap hidup semacam ini, menjadikan orang-orang Madura diluar Madura mudah dikenal, supel serta menunjukkan sikap toleran terhadap sesama. 

Kadang berlawanan bila melihat penampilan fisik bila dibandingkan kenyataan hidup yang sebenarnya. Sebagai contoh, bila satu rumah tangga kedatangan tamu (apalagi tamu jauh), dapat dipastikan mereka sangat dihormati. 

Kalaupun dapat, mereka berusaha memuaskan dengan jamuan lebih, bahkan berani mencari hutang demi menghormati tamu. Tapi sebaliknya apabila penghargaan itu ditolak atau meski sedikit tidak mau dicicipi suguhannya, maka tamu tersebut berarti dianggap menginjak penghargaan tuan rumah.

Dan kemungkinan semacam ini akan tumbuh benih-benih rasa benci dan dendam
Sebagai suku yang hidup di kepualauan, orang Madura dijaman dulu kurang mendapat kesempatan untuk berinteraksi dengan dunia luar. 

Mereka sangat berhati-hati, dan akibatnya sesuatu yang datang dari luar merupakan ancaman bagi dirinya. Meskipun pada dasarnya mereka konservatif, yakni berusaha memelihara dan menjamin nilai-nilai yang mengakar dalam dirinya. 

Tapi dalam segi yang lain, orang Madura menunjukkan naluri yang kuat untuk menjamin dan bertahan kelangsungan hidup, karena mereka didorong untuk menerima dan memanfaatkan nilai-nilai yang terserap dari luar.

Dalam hal pertanian, petani Madura memang lebih rajin dan ulet dibanding petani Jawa sendiri. Rajin dan keuletan inilah banyak member kesempatan kepada pendatang orang  asal Madura lebih leluasa membuka lahan pertanian di Jawa. 

Hal ini disebabkan, cara kerja mereka yang semula berhadapan dengan tanah tandus, lalu beralihlah ke tanah yang subur, maka semakin bergairah. Maka tak heran bila pendatang Madura di daerah itu banyak yang berhasil, bahkan sebagian besar menjadi tuan tanah.

KEUNIKAN KHAS PAPUA YANG TERABAIKAN


Jayapura, Papua memiliki keragaman keunikan khas daerah, seperti noken, saly, honay, koteka, ukiran, dan sebagainya. Meski kemajuan pembangunan dan informasi telah menempatkan keunikan-keunikan itu sebagai sesuatu ketertinggalan, tetapi memberi makna sebagai kearifan budaya dan tradisi lokal. 

Sedihnya, keunikan tersebut tidak mendapat perhatian dari pemerintah daerah setempat. 
ada beberapa peralatan tradisional yang ditinggalkan nenek moyang dan masih bertahan sampai hari ini. Misalnya, noken (bahasa daerah Biak, artinya tas), keranjang yang digunakan kaum pria dan wanita di Papua. Noken merupakan salah satu bentuk aksesori yang paling diminati masyarakat.

Saat ini noken lebih banyak ditemukan di Paniai. Daerah ini dikenal sebagai gudang noken. Namun, penduduk setempat menyebutnya agiya. Di Paniai dikenal enam jenis agiya, yakni goyake agiya, tikene agiya, hakpen agiya, toya agiya, kagamapa agiya, dan pugi agiya.

Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pariwisata Kabupaten Paniai Thomas Adi menyebutkan, jenis-jenis agiya ini dibedakan sesuai bahan, bentuk, warna, dan pemakaian dalam suku.

Di Paniai dikenal ada lima suku, yakni Mee menguasai goyage agiya, suku Dani menguasai tikene agiya dan hakpen agiya, suku Ekari menguasai jenis toya agiya, suku Nduga memiliki kagmapa agiya, dan suku Moni menguasai pugi agiya. Tetapi, belakangan ini hampir semua jenis agiya menyebar tanpa batas suku, agama, dan warna kulit. Bahkan menyebar sampai ke seluruh Papua.

Noken atau agiya ini bagi perempuan di pedalaman biasa digunakan menyimpan anak bayi, babi, umbi-umbian, sayur, dan pakaian. Sering terlihat di dalam sebuah noken dengan tali digantung di bagian kepala mengarah ke bagian punggung dan belakang perempuan. Di dalam noken/agiya ini kadang-kadang disimpan bayi dan di sampingnya diletakkan umbi-umbian dan sayur-sayur.

Bahan dasar agiya, yakni kulit kayu dan anggrek. Daerah Pegunungan Tengah terkenal dengan berbagai jenis anggrek hutan. Namun, anggrek-anggrek ini belum dikenal dan diidentifikasi secara teratur. 

Tanaman anggrek sendiri belum dibudidayakan oleh masyarakat Papua. Padahal, anggrek dapat meningkatkan kesejahteraan. Beberapa warga pendatang mencoba mengumpulkan jenis-jenis anggrek Papua dan mengikuti sejumlah pameran di luar Papua, sehingga menjadikan anggrek sebagai sumber hidup utama.

Di Sentani, Kabupaten Jayapura, noken disebut holoboi, sedangkan noken besar untuk kaum bangsawan disebut wesanggen. Saly, pakaian bawahan perempuan suku Dani, di Pegunungan Tengah Papua, terbuat dari serat kayu atau serat pelepah pisang. 

Batang serat (pelepah) pisang dihaluskan kemudian diiris dalam bentuk tali-tali panjang, dikeringkan, kemudian dirajut menyerupai pakaian bawahan perempuan. Belakangan bahan dasar saly dari benang dan kulit kayu berkualitas.

Seorang perempuan suku Dani mengenakan saly pada usia lima tahun. Bagian atas tidak ada pakaian khusus. Bagi anak-anak gadis saly yang sama juga sering digunakan untuk menutup bagian dada. 

Tetapi, bagi kebanyakan kaum ibu, bagian atas (dada) sengaja tidak tertutup dengan maksud dengan mudah menyusui sang bayi.

Selain itu, Papua juga memiliki rumah tradisional yang disebut honay. Rumah tradisional suku-suku di Pegunungan Tengah ini berbentuk lingkaran dengan diameter 3-5 meter, dengan bagian atap berbentuk kerucut. Ada honay khusus untuk ternak babi, ada honay khusus untuk kaum pria, dan honay khusus untuk kaum wanita.

Ruangan dalam honay yang sengaja dibangun sempit serta tidak memiliki ventilasi (jendela) ini bertujuan untuk menahan hawa dingin. Daerah Pegunungan Tengah, seperti Puncak Jaya (5.030 m) dan Paniai memiliki suhu sampai 5 derajat Celsius. 

Guna mengatasi udara dingin itu, orang-orang pedalaman terpaksa membuat honay setinggi sekitar 2,5 meter, dan di dalam honay itu dipasang api unggun untuk menghangatkan badan.

Tetapi, dalam perkembangan terakhir seiring kemajuan pembangunan di daerah itu, sejumlah alat-alat tradisional Papua di atas mulai dipadukan dengan beberapa pakaian hasil produksi pabrik. Misalnya, saly dipadukan dengan celana pendek, bra, dan pakaian perempuan jenis lainnya.

Di kalangan perempuan terpelajar di Pegunungan Tengah, pakaian perempuan tradisional ini tidak lagi digunakan. Bahkan, perempuan suku Dani pun sudah sangat jarang terlihat mengenakan saly kecuali pada upacara adat tertentu.

PRINSIP HIDUP SUKU BUGIS MAKASSAR


Salah satu kearifan lokal masyarakat suku Bugis Makassar adalah bagaimana prinsip hidup yang dianutnya. Prinsip hidup merupakan nilai-nilai yang dianut oleh kebanyakan masyarakat terdahulu dan itulah yang membentuk karakter orang-orang ditiap daerahnyaBerikut ini beberapa prinsip hidup masyarakat suku bugis Makassar:

1. Prinsip hidup tidak pasrah pada keadaan

Orang bugis Makassar sangat menghargai seseorang yang memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mudah menyerah hingga akahir.Bahkan ketika lawanya terlalu kuat sekalipun sangat memalukan ketika dia hendak menyerah dan mengalah yang penting yakin bahwa yang diperjuangkan adalah kebenaran.

2. Solidaritas dan kebersamaan

Bagi orang bugis Makassar kebersamaan sangatlah penting,ikatan solidaritas dan kebersamaan sangat dijunjung tinggi.penghianat ialah perbuatan yang sangat rendah di mata orang bugis Makassar.Munkin bagi seseorang yang baru tinggal dimakassar heran melihat segerombolan pemuda tawuran karena hanya srombongang cewek digoda oleh cowok,sementara di di gerombolan cewek itu ada cowokdan jika seseorang cowok itu tidak memebla maka akan sangat memalukan,dan jika dia melawan akan datanglah teman2nya untuk membantu dengan alasan setiakawan.

3. Harga diri.

Masyarakat bugis Makassar sangat menjunjung tinggi sik’atau rasa malu.jika suda dipermalukan maka harus melakukan tindakan untuk menutpi rasa malunya tersebutdan bagi seseorang yang sudah dipermalukan dan tidak melakukan tindakan berarti dia akan tidak memiliki tempat dimasyarakat.

Orang bugis Makassar sangat menghargai tata karma/sopan santun yang dikenal sipakatau(saling menghargai antar manusia)setiap orang dituntut untuk memperlakukan semua orang dengan baik dan santun.masyarakat bugis Makassar dapat memahami tindakan yang dilakukan sebagai reaksi dari ketidak sopanan seseorang.

Beberapa prinsip diatas sangat menunjukkan bperbedaan karakter seseorang bugis Makassar dengan daerah lain dan prinsip diatas sangat menunjang pembentukan karakter orang bugis Makassar.
Mari kita bertekad untuk memupuk lagi budaya yang telah lama pupus, agar mereka tidak meronta-ronta, alangkah sedapnya jika budaya kita menjadi kaca budaya negara luar.

ADAT PERNIKAHAN BANJAR DENGAN KEARIFAN LOKALNYA


Masyarakat banjar zaman dahulu tidak mengenal istilah pacaran tetapi mereka langsung dijodohkan yaiti orang tua mereka yang menjodohkan dan mencari calon mempelai untuk anaknya dan upacar adat yang dipakai masih sangat tradisional dan melalui proses yang sangat panjang.

Namun pada era globalsasi saat ini tata cara perkawinan tersebut sudah banyak ditinggalkan oleh masyarakat khususnya masyarakat Banjar. 

Hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman, yang otomatis dianggap tidak sesuai lagi dengan budaya-budaya leluhur seperti contohnya upacara perkawinan tersebut. Dan juga dianggap terlalu bertele-tele.
Satu lagi pesona anak bangsa disajikan sebagai bentuk tata upacara nikah adat Banjar, tersaji agar bermanfaat khususnya untuk putra-putri Pulau Borneo yang tinggal di luar pulau dan umumnya masyarakat Indonesia. 

Dan semoga menjadikan khasanah Ilmu dasar ntuk menjaga negeri.
Provinsi Kalimantan Selatan terletak di sebelah selatan pulau Kalimantan. Secara geografis keadaan alamnya terdiri dari dataran rendah, rawa-rawa, sungai-sungai baik besar maupun kecil serta dataran tinggi dan pegunungan dengan lembah dan ngarainya. 

Di bagian selatan dan timur dilingkungi oleh pantai dan laut.
Suku Banjar mengenal Daur Hidup dengan upacara tradisional yang salah satunya adalah Upacara Perkawinan. Upacara ini merupakan salah satu bagian dari Daur Hidup yang harus dilewati. 

Dahulu orang Banjar umumnya tidak mengenal istilah “berpacaran” sebelum memasuki jenjang perkawinan seperti yang kita ketahui sekarang. Namun, saat itu hanya dikenal istilah “batunangan”. 

Yaitu, ikatan kesepakatan dari kedua orang tua masing-masing untuk mencalonkan kedua anak mereka kelak sebagai suami isteri. Proses “batunangan” ini dilakukan sejak masih kecil, namun umumnya dilakukan setelah akil balig. Hal ini hanya diketahui oleh kedua orang tua atau kerabat terdekat saja.
Pelaksanaan upacara perkawinan memakan waktu dan proses yang lama. 

Hal ini dikarenakan harus melalui berbagai prosesi, antara lain :
Basasuluh, Batatakun atau Melamar,Bapapayuan atau Bapatut Jujuran, Maatar Jujuran atau Maatar Patalian.

Agar budaya adat pernikahan banjar tidak punah dan menghilang kita sebagai generasi penerus kebudayaan tersebut hendaknya lebih memperhatikan dan melestarikan budaya banjar yang kita miliki untuk membanggakan generasi sebelum kita.



ACEH DENGAN KEARIFAN LOKALNYA YANG TELAH PUPUS


Aceh pasca tsunami adalah Aceh yang baru. Dari aspek pembangunan, kebaruan itu terlihat dari tersedianya ragam sarana dan prasarana publik yang lebih baik. Tata ruang wilayah terutama kawasan perkotaan juga terlihat lebih asri dan terbuka, sehingga kesan sumpek dan awut-awutan relatif mengalami degradasi, kendati dalam taraf yang belum maksimal. 

Dari aspek sosial budaya, Aceh yang baru pun mudah diamati. Munculnya para borjuis baru yang didominasi oleh kalangan muda merupakan sebuah indikasi terjadinya pergeseran kelas sosial dalam masyarakat. 
Perilaku masyarakat juga mengalami perubahan yang cukup drastis sebagai konsekwensi dari kosmopolitanisme Aceh terhadap kedatangan bangsa-bangsa asing dari berbagai pelosok bumi.
Kearifan lokal Aceh terkait persoalan kebencanaan, lingkungan, sosial, dan budaya, sebagian besar telah hilang bersama terkuburnya teks-teks kuno dan terpupusnya tradisi literasi di Tanah Serambi Mekkah sejak awal abad ke-20.
Tuntunan perihal kearifan lokal itu tercatat di manuskrip-manuskrip kuno Aceh yang kini sebagian besar kurang dilestarikan dan kurang diperhatikan keberadaannya.

Pada masa lalu, ulama dan kaum intelektual Aceh selalu membukukan kearifan-kearifan lokal ini. Di beberapa teks kuno yang masih tersisa, itu semuanya tercantum. Kearifan lokal yang sebenarnya sudah berkembang pada masa sebelum abad ke-20 adalah mengenai kesiagaan bencana, khususnya menghadapi gempa dan tsunami. 

Gempa dan tsunami bukan hanya pernah terjadi di tahun 2004. Pada abad ke-17 dan 18 diduga itu juga pernah terjadi.
Jenis kearifan lokal lain yang juga termaktub dalam kitab Tajjul Muluk, yang bertutur mengenai tuntunan sejarah, perbintangan, pengobatan, larang menebang hutan, dan bahkan hukum.
Larangan menebang hutan, misalnya, disana dijelaskan, orang Aceh tak boleh menebang sebelum sebuah pohon sudah mengugurkan dahannya, yang artinya pohon tersebut sudah berusia tua. Kearifan seperti ini tak lagi dipahami generasi muda sehingga kini hutan Aceh sudah rusak.

Tradisi literasi nilai-nilai lokal ini tak berlanjut pada penyalinan ulang teks. Setelah masa Kerajaan Aceh runtuh, tradisi tersebut hancur. Bahkan, teks-teks hikayat kuno banyak yang hilang dan dilupakan. Aceh tak lagi memiliki sumber-sumber sejarah dan tradisi yang kuat.

Pada masa kemerdekaan, upaya penyalinan ulang ini, seiring mudahnya mendapatkan kertas sempat akan tumbuh. Namun, konflik berkepanjangan mulai tahun 1950-an, hingga berlanjut pada masa Gerakan Aceh Merdeka selama 30 tahun membuat upaya penyalinan ulang terabaikan.





BENTUK SENI BUDAYA BATAK



Melimpahnya kebudayaan Indonesia terlihat dari beragamnya bentuk pertunjukan, tarian, alat musik, dan pakaian. Bukan hal mudah untuk menciptakannya karena harus mencurahkan akal budi dan daya upaya masyarakat suatu wilayah.

Tari tor-tor tarian khas indonesia budaya asli batak indonesia. Tarian Tor Tor indonesia seirama dengan diiringi alat musik traditional batak seperti gondang, suling, dan terompet khas batak. Tari tor-tor digunakan dalam acara ritual khusus yang bersinggungan dengan leluhur, dan tarian ini merupakan simbol untuk berkomunikasi dengan para leluhur batak sumatra utara.

Tarian tor-tor indonesia ini memanggil arwah leluhur dan dipanggil masuk ke dalam patung sehingga patung tersebut bergerak menari dengan kaku, meliputi gerakan tangan dan kaki " jinjit-jinjit"

Jenis tarian tor-tor berbeda-beda istilahnya mempunyai beberapa macam jenis tergantung dari kegunanaan dan fungsi tarian itu. ada yang disebut tari tor-tor pangurason yaitu tarian yang digelar saat pesta untuk membersihkan tempat dan lokasi agar jauh dari mara bahaya.

Ada lain lagi seperti tari tor tor Sipitu cawan yang biasa digelar saat pengukuhan raja, yang dulu kala menurut sebuah legenda tarian tor-tor sipitu cawan berasal dari 7 putri bidadari yang mandi di sebuah telaga di gunung pusuk buhit.

Ada lagi jenis tor-tor Tunggal Panaluan batak yang digelar bila dalam suatu desa sering dilanda musibah, tarian ini di tarikan agar ,musibah yang ada di batak bisa secepatnya hilang dan desa aman dari marabahaya.
Pesan ritual dalam tarian tor-tor yakni takut dan taat pada Tuhan, sebelum tari dimulai harus ada musik persembahan pada Yang Maha Esa.

Kemudian dilanjutkan pesan ritual untuk leluhur dan orang-orang masih hidup yang dihormati. Terakhir, pesan untuk khalayak ramai yang hadir dalam upacara. Barulah dilanjutkan ke tema apa dalam upacara itu.
Durasi Tari Tor-tor bervariasi, mulai dari tiga hingga sepuluh menit. Di tanah Batak, hal ini tergantung dari permintaan satu rombongan yang mau menyampaikan suatu hal ke rombongan lain.

Dimintalah satu buah lagu pada pemusik. Jika maksud sudah tersampaikan, barulah tarian dihentikan.
Tarian ini akhirnya bertransformasi di Ibu Kota karena mulai ditampilkan di upacara perkawinan. Jika sudah sampai di upacara ini, bentuknya bukan lagi ritual melainkan hiburan. Karena menjadi tontonan dan tidak semua yang hadir ikut terlibat dalam tarian tersebut.


SENI UPACARA DI JAWA BARAT



Kearifan lokal adalah sumber pengetahuan yang diselenggarakan dinamis, berkembang dan diteruskan oleh populasi tertentu yang terintegrasi dengan pemahaman mereka terhadap alam dan budaya sekitarnya. 

Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakkan pada level lokal di bidang kesehatan, pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. 

Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama.  

Jadi, untuk melaksanakan pembangunan disuatu daerah, hendaknya pemerintah mengenal lebih dulu seperti apakah pola pikir dan apa saja yang ada pada daerah yang menjadi sasaran pembangunan tersebut. Adalah sangat membuang tenaga dan biaya jika membuat tempat wisata tanpa memberi pembinaan kepada masyarakat setempat bahwa tempat wisata tersebut adalah  “ikon” atau sumber pendapatan yang mampu mensejahterakan rakyat didaerah itu. Atau lebih sederhananya, sebuah pembangunan akan menjadi sia-sia jika pemerintah daerah tidak mengenal kebiasaan masyarakat atau potensi yang tepat untuk pembangunan didaerah tersebut. 

Pembangunan tersebut akan tidak tepat sasaran, bahkan mungkin akan menyengsarakan rakyat dan tidak membawa kemajuan berarti karena ketidak pahaman pemerintah terhadap kearifan lokal maupun kearifan budaya lokal pada daerah tersebut. Seperti halnya pertambangan emas di wilayah timur Indonesia.  Mungkin mereka membawa keuntungan bagi negara, tapi bagaimanakah tingkat kesejahteraan penduduknya? 

Nampaknya mereka masih ada pada garis kemiskinan yang mengakibatkan kurangnya pendidikan sebagai contohnya adalah Jawa Barat.
Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia. Bandung sebagai ibu kota provinsi, merupakan kota dengan jumlah penduduk terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.

Sebagian penduduk Jawa Barat adalah Suku Sunda. Selain itu, ada campuran Sunda dengan Jawa di pantai utara Cirebon serta sebagian kecil pesisir Indramayu. Mata pencaharian penduduk Jawa Barat yang utama adalah bertani. Bertaninya pun bermacam-macam. Ada yang bertani padi, sayur-sayuran, buah-buahan, dan bunga-bungaan. Selain itu, di daerah Jawa Barat juga banyak terdapat perkebunan teh, cengkih, tebu, dan kina.

Kebudayaan masyarakat Jawa Barat terpengaruh dari 4 sumber, yaitu Hindu/Budha, Islam, Jawa, dan kebudayaan barat. Ini dapat dilihat dari upacara yang disertai membakar kemenyan (pengaruh Hindu), doa-doa menurut agama Islam, pakaian pernikahan tanpa baju dan berbentuk wayang orang (pengaruh Jawa Tengah), dan seni macapat. Kali ini saya akan membahas tentang kesenian upacara yang disertai membakar kemenyan.

Upacara itu dimulai oleh seorang punduh (sesepuh upacara) perempuan, yang berdoa sambil membakar kemenyan, memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan mengucapkan rasa syukurnya atas hasil panen yang didapat. Setelah sampai di suatu tempat, kucing dan ayam jago dimandikan, kemudian dilepas. Gondang pun dimainkan. 

Lain halnya dengan gondang yang dimainkan untuk kepentingan kenduri. Suara lesungnya yang terdengar sampai jauh, berfungsi sebagai pemberitahuan atau sebagai tanda adanya seseorang yang akan mengadakan kenduri. Suara tutunggulan dan nyanyian-nyanyian itu adalah undangan kepada khalayak ramai untuk datang kepada orang yang punya kenduri. 

Tutunggulan biasanya dilakukan jauh hari sebelum kenduri seseorang itu dilaksanakan. Biasanya selama tiga hari sampai dengan seminggu. Akan tetapi, ritus-ritus tersebut kini mulai hilang dan gondang pun jarang dimainkan lagi. 
Pola permainannya dibagi menjadi dua bagian, yakni tutunggulan dan nyanyian. Dalam Gondang Buhun terdapat empat jenis tutunggulan yang paling dominan, setiap jenisnya mempunyai irama yang khas.

http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/dest-det.php?id=...
- Buku Salam Sahabat Nusantara: Jawa Barat yang Memesona, Penerbit: Doenia Aksara
- Muflihah, Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap Sekolah Dasar, Penerbit: Puspa Swara, Jakarta, 2007.


Sunday, January 20, 2013

PEMBAKARAN LOH LELUHUR DI BALI


Kehidupan di dunia ini dapat diibaratkan sebagai perang antara nafsu baik dan nafsu yang tidak baik. Agar manusia dapat memenangkan perang tersebut, sehingga pada saat kematian rohnya kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia harus dapat menempatkan hati nuraninya di atas nafsu. Dengan kata lain, hati nurani manusia haruslah menguasai nafsu. Jika hati nurani dikuasai oleh nafsu pada saat kematian roh manusia dapat kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimana agar seseorang dapat menjaga hati nuraninya selalu berada di atas nafsu? Budaya Jawa mengajarkan agar seseorang selalu menjalani laku, seperti berpuasa dan lain-lain, sebagai latihan pengendalian diri sehingga dapat mengendalikan diri apabila timbul rangsangan untuk bertindak yang tidak baik. Selain itu budaya Jawa juga mengajarkan agar seseorang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga selalu mendapatkan terang dari-Nya yang akan menyebabkannya dapat berpikir secara jernih dan bersih.

Tujuan hidup manusia adalah selamat di dunia maupun di alam kelanggengan. Untuk dapat mencapai tujuan itu manusia dituntut untuk terus menerus berjuang menegakkan kebenaran. Dalam kehidupan di dunia yang sesaat, manusia harus dapat mengisinya dengan tindakan baik. Oleh karena itu budaya Jawa selalu mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara sifatnya.

Peringatan tersebut diungkapkan dalam istilah “wong urip iku mung mampir ngombe”. Apabila seseorang selalu ingat akan hal ini dan mengisi kehidupan sesaat dengan tindakan baik, maka dapatlah diharapkan tujuan hidup seseorang akan tercapai, yaitu selamat di dunia maupun di alam kelak nanti.
Namun,dalam kearifan local kali ini. Saya akan membahas tentang pembakaran mayat di Bali yang biasa kita sebut dengan Ngaben.

Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat.
Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup.

Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik.

Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya.

BENTUK KASIH SAYANG TERHADAP ANAK DALAM BUDAYA JAWA BARAT



       Bagi seorang anak manusia, keluarga inti adalah tempat sosialisasi pertama bagi dirinya, yang terjalin melalui kasih sayang dan pola asuh. Di setiap kebudayaan, tentu akan ditemui pola pengasuhan dalam keluarga yang berbeda pula. Seperti halnya di dalam kebudayaan, di mulai dari keluarga, terdapat sebuah tata cara mendidik seorang anak yakni pendidkan karakter, pembentukan moral dan etika, yang keseluruhan itu terbingkai pada falsafah hidup masyarakat Jawa. Oleh sebab itu, keluarga inti bagi masyarakat Jawa merupakan kesatuan keluarga yang paling penting

Secara ideal, pembagian peran dalam sebuah keluarga meliputi keberadaan ayah menjadi seseorang yang bekerja untuk mencari sumber penghidupan sedangkan pola pengasuhan akan lebih banyak dijalankan oleh seorang ibu. Untuk itulah posisi ibu memiliki andil besar dalam proses pembentukan karakter anak, dan pemberian makna di dalam keluarga. Seorang ibu menjadi sosokpusat bagi sebuah keluarga, dalam segi sosial dan ekonomi, rumah tangga.

Sejatinya, pola asuh terbagi atas beberapa fase pertumbuhan anak manusia. Pertama adalah fase anak-anak. Usia tersebut dimulai umur bayi hingga berumur 5 tahun. Disini peranan emosional, keterikatan lahiriah dan batiniah antara anak dan ibu sangat menentukan.

Pada gilirannya ibu diharuskan mendidik anak dimulai dari anak mulai belajar berbicara, bermain dan mengenal orang dewasa di sekitarnya. Segala sikap perilaku, ucapan harus sudah diperhatikan. Awalnya anak akan mengaplikasikannya di lingkungan keluarga terdekat. Sebagai misal dalam berbahasa. Kepada orang yang lebih tua, anak belajar berbahasa krama.

Anak juga belajar sopan santun pada konteks sederhana sebagai misal tata cara makan, menggunakan baju, maupun bersikap.
Sebelum membentuk pola asuh yang baik,biasanya orang jawa dalam adat istiadatnya akan mengadakan upacara sebelum anaknya yang dikandung lair. Upacara tersebut disebut upacar memitu

Upacara Memitu/Tingkeban yang berasal dari Jawa Barat dipimpin oleh seorang lebe atau sesepuh dari kaum alim ulama setempat. Pimpinan upacara biasanya membacakan doa syukuran dan membacakan surat Lukman, sekaligus menutupnya dengan doa Al Barokah. Tempat penyelenggaraan upacara adalah di rumah pasangan yang bersangkutan atau di rumah orang tua salah satu pasangan. Lokasinya biasanya di luar rumah di tempat yang agak leluasa agar bisa dilihat oleh para tamu.

Pelaksanaan upacara memitu/tingkeban yaitu pada waktu usia kandungan tujuh bulan. Tepatnya dilaksanakan pada salah satu tanggal berikut yaitu: tanggal 7, 17 atau 27, disesuaikan dengan kesiapan yang bersangkutan. Pihak utama yang terlibat upacara adalah ibu yang sedang hamil tersebut dengan suaminya, orang tua kedua belah pihak, kerabat dari kedua belah pihak, lebe atau sesepuh yang akan memimpin upacara, dan dukun bayi atau paraji yang memimpin upacara mandi.

Pihak lainnya adalah tetangga dan handai taulan dari kedua belah pihak. Maksud dan tujuan dilaksanakannya upacara ini yaitu bersyukur kepada Tuhan karena rumah tangganya dibarokahi dengan diberi keturunan. Selain itu adalah memohon agar diberi keselamatan baik bagi si ibu maupun jabang bayi pada saat melahirkan nanti.

Disamping juga memohon agar si jabang bayi lahir dengan tanpa cacat dan menjadi anak yang baik, dan membawa pengaruh sejahtera kelak hidup di dunia.

PESTA TABUIK SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DI SUMATERA BARAT



Kearifan lokal Minangkabau saat ini banyak yang tergerus zaman, tak terkecuali upaya penanggulangan bencana. Karenanya ragam kearifan lokal itu perlu dipahami kembali oleh generasi muda dan penerus bangsa.
dalam upaya penanggulangan bencana, sebenarnya tidak boleh hanya sebatas masalah infrastruktur saja. Namun juga harus memberdayakan kearifan lokal yang dimiliki masyarakat.

Salah satu bentuk kearifan local di Sumatera Barat adalah pesta tabuik.
Tabuik adalah sebuah benda berbentuk keranda bertingkat tiga yang terbuat dari kayu, rotan, dan bambu. Tabuik merupakan benda utama yang diarak di tepi pantai untuk kemudian dibuang ke laut.
Badan Tabuik dibuat berbentuk kuda besar, bersayap lebar, dan berkepala perempuan cantik berambut panjang. Pembuatan tabuik dikerjakan dari tanggal 1 hingga 9 Muharam oleh dua kelompok masyarakat Pariaman yaitu kelompok Pasar dan kelompok Suberang. Tabuik yang dibuat pun dua buah.

Pesta Tabuik adalah sebentuk upacara masyarakat Pariaman dalam memperingati wafatnya cucu Nabi Muhammad SAW, Hassan dan Hussain di Padang Karbala. Sebagian kaum Muslim meyakini bahwa jenazah Hussain dimasukkan ke dalam peti jenazah (tabuik) dan dibawa ke langit menggunakan Bouraq.
Menurut sejarah Pariaman, pesta Tabuik adalah bentuk usaha pembauran antara pasukan Thamil yang dahulu adalah bagian dari pasukan Inggris dengan masyarakat Pariaman.

Berasal dari kata tabut, dari bahasa Arab yang berarti mengarak, upacara Tabuik merupakan sebuah tradisi masyarakat di pantai barat, Sumatera Barat, yang diselenggarakan secara turun menurun. Upacara ini digelar di hari Asura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram, dalam kalender Islam.

Pada hari yang telah ditentukan, sejak pukul 06.00, seluruh peserta dan kelengkapan upacara bersiap di alun-alun kota.Para pejabat pemerintahan pun turut hadir dalam pelaksanaan upacara paling kolosal di Sumatera Barat ini.

Satu Tabuik diangkat oleh para pemikul yang jumlahnya mencapai 40 orang. Di belakang Tabuik, rombongan orang berbusana tradisional yang membawa alat musik perkusi berupa aneka gendang, turut mengisi barisan. Sesekali arak-arakan berhenti dan puluhan orang yang memainkan silat khas Minang mulai beraksi sambil diiringi tetabuhan.

Saat matahari terbenam, arak-arakan pun berakhir. Kedua Tabuik dibawa ke pantai dan selanjutnya dilarung ke laut. Hal ini dilakukan karena ada kepercayaan bahwa dibuangnya Tabuik ini ke laut, dapat membuang sial. Di samping itu, momen ini juga dipercaya sebagai waktunya Buraq terbang ke langit, dengan membawa segala jenis arakannya