Aceh pasca tsunami adalah Aceh yang baru. Dari aspek pembangunan, kebaruan itu terlihat dari tersedianya ragam sarana dan prasarana publik yang lebih baik. Tata ruang wilayah terutama kawasan perkotaan juga terlihat lebih asri dan terbuka, sehingga kesan sumpek dan awut-awutan relatif mengalami degradasi, kendati dalam taraf yang belum maksimal.
Dari aspek sosial budaya, Aceh yang baru pun mudah diamati. Munculnya para borjuis baru yang didominasi oleh kalangan muda merupakan sebuah indikasi terjadinya pergeseran kelas sosial dalam masyarakat.
Perilaku masyarakat juga mengalami perubahan yang cukup drastis sebagai konsekwensi dari kosmopolitanisme Aceh terhadap kedatangan bangsa-bangsa asing dari berbagai pelosok bumi.
Kearifan lokal Aceh terkait persoalan kebencanaan, lingkungan, sosial, dan budaya, sebagian besar telah hilang bersama terkuburnya teks-teks kuno dan terpupusnya tradisi literasi di Tanah Serambi Mekkah sejak awal abad ke-20.
Tuntunan perihal kearifan lokal itu tercatat di manuskrip-manuskrip kuno Aceh yang kini sebagian besar kurang dilestarikan dan kurang diperhatikan keberadaannya.
Pada masa lalu, ulama dan kaum intelektual Aceh selalu membukukan kearifan-kearifan lokal ini. Di beberapa teks kuno yang masih tersisa, itu semuanya tercantum. Kearifan lokal yang sebenarnya sudah berkembang pada masa sebelum abad ke-20 adalah mengenai kesiagaan bencana, khususnya menghadapi gempa dan tsunami.
Gempa dan tsunami bukan hanya pernah terjadi di tahun 2004. Pada abad ke-17 dan 18 diduga itu juga pernah terjadi.
Jenis kearifan lokal lain yang juga termaktub dalam kitab Tajjul Muluk, yang bertutur mengenai tuntunan sejarah, perbintangan, pengobatan, larang menebang hutan, dan bahkan hukum.
Larangan menebang hutan, misalnya, disana dijelaskan, orang Aceh tak boleh menebang sebelum sebuah pohon sudah mengugurkan dahannya, yang artinya pohon tersebut sudah berusia tua. Kearifan seperti ini tak lagi dipahami generasi muda sehingga kini hutan Aceh sudah rusak.
Tradisi literasi nilai-nilai lokal ini tak berlanjut pada penyalinan ulang teks. Setelah masa Kerajaan Aceh runtuh, tradisi tersebut hancur. Bahkan, teks-teks hikayat kuno banyak yang hilang dan dilupakan. Aceh tak lagi memiliki sumber-sumber sejarah dan tradisi yang kuat.
Pada masa kemerdekaan, upaya penyalinan ulang ini, seiring mudahnya mendapatkan kertas sempat akan tumbuh. Namun, konflik berkepanjangan mulai tahun 1950-an, hingga berlanjut pada masa Gerakan Aceh Merdeka selama 30 tahun membuat upaya penyalinan ulang terabaikan.
No comments:
Post a Comment