Sunday, January 20, 2013

PEMBAKARAN LOH LELUHUR DI BALI


Kehidupan di dunia ini dapat diibaratkan sebagai perang antara nafsu baik dan nafsu yang tidak baik. Agar manusia dapat memenangkan perang tersebut, sehingga pada saat kematian rohnya kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa, manusia harus dapat menempatkan hati nuraninya di atas nafsu. Dengan kata lain, hati nurani manusia haruslah menguasai nafsu. Jika hati nurani dikuasai oleh nafsu pada saat kematian roh manusia dapat kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Bagaimana agar seseorang dapat menjaga hati nuraninya selalu berada di atas nafsu? Budaya Jawa mengajarkan agar seseorang selalu menjalani laku, seperti berpuasa dan lain-lain, sebagai latihan pengendalian diri sehingga dapat mengendalikan diri apabila timbul rangsangan untuk bertindak yang tidak baik. Selain itu budaya Jawa juga mengajarkan agar seseorang selalu mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, sehingga selalu mendapatkan terang dari-Nya yang akan menyebabkannya dapat berpikir secara jernih dan bersih.

Tujuan hidup manusia adalah selamat di dunia maupun di alam kelanggengan. Untuk dapat mencapai tujuan itu manusia dituntut untuk terus menerus berjuang menegakkan kebenaran. Dalam kehidupan di dunia yang sesaat, manusia harus dapat mengisinya dengan tindakan baik. Oleh karena itu budaya Jawa selalu mengingatkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara sifatnya.

Peringatan tersebut diungkapkan dalam istilah “wong urip iku mung mampir ngombe”. Apabila seseorang selalu ingat akan hal ini dan mengisi kehidupan sesaat dengan tindakan baik, maka dapatlah diharapkan tujuan hidup seseorang akan tercapai, yaitu selamat di dunia maupun di alam kelak nanti.
Namun,dalam kearifan local kali ini. Saya akan membahas tentang pembakaran mayat di Bali yang biasa kita sebut dengan Ngaben.

Ngaben adalah upacara pembakaran mayat yang dilakukan di Bali, khususnya oleh yang beragama Hindu, dimana Hindu adalah agama mayoritas di Pulau Seribu Pura ini. Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur.
Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Dalam sekali upacara ini biasanya menghabiskan dana 15 juta s/d 20 juta rupiah (saat ini sudah ada Ngaben massal yang biaya lebih irit).
Upacara ini biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya.

Hari pelaksanaan Ngaben ditentukan dengan mencari hari baik yang biasanya ditentukan oleh Pedanda/Pinandita yang akan memimpin upacara. Beberapa hari sebelum upacara Ngaben dilaksanakan keluarga dibantu oleh masyarakat akan membuat “Bade dan Lembu” yang sangat megah terbuat dari kayu, kertas warna-warni dan bahan lainnya. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Pagi hari ketika upacara ini dilaksanakan, keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara. Mayat akan dibersihkan/dimandikan atau yang biasa disebut “Nyiramin” oleh masyarakat dan keluarga. “Nyiramin” ini dipimpin oleh orang yang dianggap paling tua didalam masyarakat.
Setelah itu mayat akan dipakaikan pakaian adat Bali seperti layaknya orang yang masih hidup.

Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik.

Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” untuk diusung beramai-ramai ke kuburan tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat, di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya.

No comments:

Post a Comment